Hari ini, tepat tujuh minggu setelah kepergian kamu. Aku tak pernah sesedih ini, kukira waktu yang aku butuhkan untuk melupakanmu juga tak sepanjang ini. Aku salah besar, hari-hari yang aku lalui bersama dengan usaha untuk melupakanmu, ternyata tak menemukan titik temu. Kamu masih jadi segalanya, masih berdiam dalam kepala, masih jadi yang paling penting dalam hati. Maaf, jika segala kejujuranku terdengar bodoh. Sebentar lagi, kamu pasti akan berkata bahwa sikapku berlebihan. Seandainya sekarang aku ada disampingmu, akan aku ceritakan sebuah kisah tentang melupakan dan mengikhlaskan, sungguh dua hal itu bukanlah hal yang mudah.
Tujuh minggu harusnya waktu yang sangat cukup untuk menghilangkan perasaan, namun ternyata aku tak termasuk dalam pernyataan itu. Hari berganti minggu, dan sosokmu masih penunggu, menyergap perhatianku, menguji imanku, dan merontokan kepercayaanku. Tubuhku dingin dan menggigil saat menghadapi perpisahan. Aku tak punya banyak rangkulan hangat, sehangat rangkulanmu yang melingkar manis dibahuku.
Sekali lagi aku katakan, melupakan tak akan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu kamu tau rasanya. Aku menulis ini saat aku terlalu lelah dihajar kenangan. Mengapa di otakku ; kamu tak pernah benar-benar pergi dan menghilang? Perkenalan kita terlalu singkat untuk disebut cinta dan terlalu dalam jika disebut ketertarikan sesaat. Aku tak tau haris diberi nama apa kedekatan kita dulu. aku tak mengerti mengapa aku yang tak mudah tergoda ini malah begitu saja terjebak dalam perhatian dan tindakanmu yang berbeda. Kamu sangat luar biasa di mataku, dulu dan sekarang ; tetap sama.
Dan aku masih menangisi, juga menyesali apa yang sempat terjadi. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua harus sesakit ini? Aku tak tau sedang berbuat apa kamu disana. Aku tak lagi tau kabarmu. Kalau aku berada disampingmu sekarang, ingin rasanya aku mengulang segalanya, kuperbudak waktu, kuhentikan detak jarum jam semauku. Agar yang hadir dalam hari-hariku hanyalah kamu, hanyalah kita, dan hanyalah bahagia tanpa air mata. Seandainya hal itu bisa dilakukan, mungkin sekarang aku tak akan merindukanmu sesering dan sedalam sekarang.
Terakhir kali kita bertemu, ketika kamu memutuskan untuk mengakhiri segalanya, ketika pelukanmu tak lagi aku rasakan, dan ketika akhirnya kita memilih berjauhan, semua jadi begitu berbeda. Perbedaan yang berulang kali berusaha aku pahami; namun tak kunjung ku mengerti. Bisakah kamu membantuku untuk memudahkan segalanya? Agar aku bisa menerima, bisa mengikhlaskan, bisa merelakan dengan sangat gampang!
Aku hanya ingin memberi tau kamu, sudah Tujuh Minggu kita berpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Aku benci harus mengakui ini, aku sering merindukanmu dan memendam perasaanku. Tersiksa dengan anganku sendiri. Aku ingin mengakui (dengan sangat terpaksa) aku masih tersiksa dengan kenangan dan terkadang aku berharap kamu kembali. Sekali lagi, maaf. Mungkin sikapku selama ini masih kurang naik dan sabar untuk menghadapi kamu dan membuat kamu tinggal. Semoga kamu bahagia, sayang. Karena bahagiamu adalah bahagiaku juga. Karena saat aku memberikan kata Ya untuk kamu pergi, aku berfikir bahwa mungkin itu adalah usaha terakhirku, perjuangan terakhirku, untuk membuat kamu bahagia. Selama kamu bahagia, aku mengikhlaskannya, sayang. Sekali lagi, selamat berbahagia.
Komentar
Posting Komentar